Senin, 01 Maret 2010

PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU ?


Teka Iku (1849 – 1904) pahlawan daerah Nusa Tenggara Timur dua kali mengalami bottleneck mindset dari Pemerintah c.q. Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. terhadap usaha dan upaya masyarakat NTT khususnya masyarakat Kabupatan Sikka untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional R.I. sebagaimana halnya pahlawan nasional Indonesia lainnya Imam Bonjol, Patimura, Bung Tomo, I. Gde Agung, Slamet Riyadi, John Lie dan lain-lain.

Alasan Pemerintah melalui Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. di dalam dua suratnya : nomor 322/PS/XI/2006 & nomor 1019/PS/XXI/2009 tanggal 31 Desember 2009 sepertinya hanya melihat dan membaca peristiwa NUHU GETE – PERANG BESAR TEKA IKU 18 Mei 1904 satu abad silam sebagai bersifat lokal dan berskala kecil serta waktu singkat pada alinea pertama dan terakhir buku L. Say : Pemberontakan Teka, yang termuat lengkap dalam buku Memori Perjuangan & Pengabdian Mo’an Teka Iku edisi perdana, November 2006, terbitan Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta dan atau buku Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur 2005. Padahal perang itu sangat menggemparkan Posthouder (pejabat Belanda setempat) di Onderafdeeling Maumere, Keresidenan Timor, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan Ratu di Negeri Belanda (Dokumen R. Nomor 343, Thn. 1904, Arsip Nasional R.I. Jakarta).

Perlu diketahui masyarakat Kabupaten Sikka (Rakyat dan Pemerintah Daerah) telah melimpahkan usaha dan upaya ini kepada Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta untuk memperjuangkannya sesuai mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. (lihat hasil survey tentang Pahlawan Nasional. Kompas, Selasa, 10 Nopember 2009).

Maka untuk dan atas nama masyarakat Kabupaten Sikka dan masyarakat NTT pada umumnya sedari awal menyadari bahwa usulan mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional bagi almarhum Mo’an Teka Iku Pemimpin Perang Suku dan Pemimpin Perang Antar Kerajaan serta Pemimpin Perang Besar melawan penjajah kompeni Belanda bukanlah ”indah kabar dari rupa” melainkan fakta history yang aktual dan nyata serta penuh mitologis dan legendaris. Bukan juga latah dan ikutan-ikutan serta memaksakan kehendak pribadi melainkan seperti halnya Mo’an Teka Iku yang memiliki visi dan misi yang penuh integritas diri sehingga impamrih bangkit dan berperang melawan penjajah Belanda yang dibantu tiga Raja Tradisional: Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae. Pun juga adalah karena pelanggaran harkat martabat masyarakat tradisi Ratu Nian Tawa Tana, oleh penjajah kompeni Belanda seperti penindasan dan penghisapan terhadap rakyat kecil (wong ciliknya Bu Mega) dengan antara lain pemungutan pajak kelapa yang sangat memberatkan rakyat kecil. Dan 18 Mei 1904 merupakan puncak gunung es sebagai akibat akumulasi proses penindasan dan penghisapan rakyat sejak Kompeni Belanda menerapkan politik Devide et impera seterima kekuasaan dari penjajah Portugis yang murah hati dan santun.

Teka Iku memang provokatif seperti tulis Dirjen dalam surat kedua penolakan usulan menjadi Pahlawan Nasional. Salahkah model provokasi ini bagi mereka yang dijajah dan ditindas bertahun-tahun untuk berontak melawan penjajah Belanda yang telah memperdaya tiga raja tradisi Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae? Teka Iku hulubalang perang kerajaan Kangae, Nita dan Sikka adalah juga sebagai kapitan (wakil raja Sikka) tampil berani melawan karena menilai para raja telah terpedaya oleh praktek politik Devide et Impera Belanda yang sangat kejam terhadap rakyat ketimbang penjajah Portugis yang santun sebelumnya.

Untuk itu sejalan dengan salah satu Tagline Presiden R.I. dalam program KIB II ada baiknya perlu Debottlenecking Mindset untuk mempertimbangkan kembali dan menilai dengan jujur tulus adil nilai perjuangan Teka Iku secara scientifics, arts, dan morals. Perjuangan Teka Iku merupakan embrio kebangkitan perlawanan nasional empat tahun lebih awal dari kebangkitan nasional 20 Mei 1908. Itulah semangat perjuangan Mo’an Teka Iku Rebu Ba’it, Damar Jawa Da’an Dadin, Patar Hading ’Liwan Pitu Ele Bere, Pare Bura Wiwaga, Nara A’un Ele Potat. Perjuangan ini meneruskan amanah sang Ayah Kepala Waktu Pitu (Ketua Dewan) dengan tagline ”Kotin – Mitan Bao Blutuk, Bao Blutuk Bliro Wolon, Ele Ngarong Klereng Ha, Wewe Tena Wolet Lebe”.


stefanus a.a.-danita