Minggu, 29 Agustus 2010

PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU SERI 3

SELAMAT DATANG BANDARA FRANS SEDA & PELABUHAN LAUT L.SAY

FAREWELL WAIOTI AIRPORT & L.SAY PORT?”


Harian terkemuka KOMPAS, dengan tagline (kahe-moto) sakti “Amanat Hati Nurani Rakyat”, Senin, 23 Agustus 2010, pada halaman 34: TEROPONG , Ekonomi, kolom 6 mewartaberitakan “Penghargaan Bandara Frans Seda”.

Sebagai pemerhati sejarah Krowe, bersama rakyat akar rumput Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, ikut mengacungkan jempol buat Pemerintah dan Dewan yang telah serta merta memproses mengganti nama lapangan terbang “WAIOTI” dan pelabuhan laut “SADANG BUI” masing-masing dengan nama “ Bandara Frans Seda” dan “Pelabuhan Laut L.Say”.

Peresmian yang telah dilakukan oleh Menteri Perhubungan, Fredy Numberi dan dihadiri unsur pemerintah dan dewan serta kalangan rohaniwan rohaniwati kabupaten Sikka, 9 Agustus 2010, di pagi yang cerah, pada waktu jam menunjukkan angka 9 itu, dibawah pengawalan pengamanan yang ketat lantaran adanya isu aksi protes dari ALMASI. Aliansi Masyarakat Sikka itu diantaranya WALHI NTT, LBH NUSRA, HNSI SIKKA, ADIL SIKKA, HIMPUNAN MASYARAKAT ADAT SIKKA, FPPI SIKKA, REMAJA MESJID WURING, PERSATUAN OJEK SIKKA, TPDI SIKKA, REMAJA MASJID WURING, dan IBU-IBU NELAYAN WURIN, tanpa kehadiran Alias tak terlihat HIMPUNAN MASYARAKAT SEJARAH KABUPATEN SIKKA. Konon para ibu nelayan Wuring sempat protes lantaran “pencemaran minyak di Laut Timor” yang masuk dalam jaring penangkapan ikan mereka.

Selain disaksikan oleh para ahli waris ke dua tokoh, tampak pula masyarakat seputar lapangan terbang, diantaranya generasi muda-generasi muda penerus dan pemelihara “NUBA NANGA’ WAIOTI. Eslebe Bupati, Eslebe Dewan atas kinerja dan menjadi track record serta catatan sejarah mengganti nama Lapangan Terbang Waioti yang telah diberkati dan di-piru(cium) Paulus VI, Paus yang doyan berkelana-pastoralia mengunjungi para dombanya diseantero dunia.

Terkait nama “WAIOTI” yang merupakan kebanggaan generasi leluhur pemilik dan pewaris tradisi “Nuba Nanga” yang penuh mitos dan legendaris via oral story, oral histrory, collective memory, dan local recognition bakal musnah lenyap(?) dan Waioti sebagai mata jalan lintas balik serangan ke dua menangkap Generaal Teka, pemimpin NUHU GETE, 18 Mei-20 Mei 1904 oleh Penjajah Belanda di Onderafdeeling Maumere, 5 Juni 1904 yang dibantu tiga raja kerajaan Sikka, Nita, dan Kangae (local real history dan local recognition) ikut punah musnah(?) juga kah? Walaualam!

Begitu juga dengan “SADANG BUI”. Pelabuhan yang juga sarat dengan penuturan lisan turun temurun sebagai pelabuhan, tempat ditambatnya 3 kapal perang Pemerintah Hindia Belanda yang tengah menanti keputusan Mahkamah Agung Koloni Penjajah Belanda untuk menjemput 5 (lima) pemimpin perang (pemberontak versi penjajah), tanggal 30 Juni 1904 dengan hukuman di penjara( 3 orang: Iku Mitan dan Hure Teka, (Kelotong)) menceburkan diri ke laut dekat Tj.Bunga, Laut Flores ) dan hukuman dibuang (Generaal Teka dan Adjudant nya Pitang Sadok) serta denda terkait pampasan perang 3000 gulden (Buku Memori Perjuangan&Pengabdian Mo’an Teka Iku, bab v, hal.167-232, Karya Paulus J.Gessing&J.Tanus Sadipun, 2006, atau Pemberontakan Teka, terjemahan L.Say, 1991).

Teka yang sedari awal selalu dan di mana-mana menyosialisasikan diri (introduce) sebagai TEKA IKU, REBU BA’IT, DAMAR JAWA DA’AN DADIN, PATI(PATAR) HADING ‘LIWAN PITU ENE BERE. PARE BURA WIWAGA,NARAN A’UN ENE POTAT”, saat ini telah dua kali (2006&2009) masuk nominasi final (final nomination) di meja sidang Badan Pembina Pahlawan Pusat (BPPP) dengan moderator DIRJEN PEMBERDAYAAN SOSIAL DEPARTEMEN SOSIAL RI 2004-2009. Namun tersandung dan sampai kapan diakui, nunggu tangan Tuhan (NTT).

Sementara adjudantnya,” Pitang Sadok” masih dinanti datang dan dirindu tunggui turun - temurunnya entah hingga kapan(?) di bekas tambat kapal perang-kapal perang penjajah “PELIKAN” , “MATARAM” dan “De GeneraalPel” Sadang Bui yang telah ditip-eks.

Akankah lenyap “Peristiwa Sejarah Satu Abad Lebih enam tahun silam itu dengan penggantian yang bersejarah”Peristiwa Peresmian Besar-Besaran 9 Agustus 2010, jam 09.00 WIT oleh Bapak Menteri Perhubungan RI, seperti tulisan laporan pandangan mata Sem/Ans?

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada ke dua tokoh pengganti bandara dan bandar tersebut di atas, konon pergantian nama ini mencederai hati nurani rakyat akar rumput pemilik dan pewaris “Nuba Nanga” Waioti yang sedari awal pendekatan pergantian nama itu tidak mengiklaskan. Hati nuraninya tetap mempertahankan nama itu sebagai kebanggaan dan kenangan atas hibah prodeo alias cuma-cuma bin gratis pengabadian nama “WAIOTI” yang merupakan tanah talipuser leluhur dan ahliwarisnya demi “BONUM COMMUNE”masyarakat dunia.

Sayang! Hati nurani pemegang kekuasaan menutup telinga dan mata hati sehingga lewat taktik dan strategi “Totem Pro Parte” – “Mendapat Dukungan Masyarakat Luar” Nuba Nanga, masyarakat pemilik dan pemegang serta generasi pewaris cuma menepuk dada dan menerimanya laksana “anak domba” yang tak berkutik saat mau disembelih. Konon masyarakat seputar yang ikut mendukung pun dalam hati sanubarinya tak rela, namun karena “conditio sine qua non” mereka menandatangani mendukungnya ketika proses sosialisasi.

Apa mau dikata! Pro dan kontra direspons pemda dan dewan sebagai kebebasan berkata dan bersuara dalam alam demokrasi sebagai hal biasa, normal, manusiawi. Lagian ini merupakan proses demokratisasi yang sedang seru-serunya digalakkan dari pusat hingga pelosok tanah air, tanpa peduli bahwa ujung-ujung demokrasi adalah “keadilan dan kesejahteraan” rakyat sebagai pemberi mandat berkuasa bagi siapa pun melalui pemilihan langsung yang pertama sepanjang sejarah berbangsa dan bernegara. Pemilihan langsung bupati 2008-2013 dan pemilihan dewan 2009-2914. Bukankah model pemilihan langsung seperti ini telah dijalankan rakyat pada masa Ratu Nian Tawa Tana KROWE(?), lewat DU’A MO’AN WATU PITU, (DEWAN DESA) sebelum berakulturasi dengan Penjajah PORTUGIS?

Untuk itu kiranya tak berlebihan apabila peringatan dari FRANCIS BACON (1561-1626) dalam “Idols of the Mind” yang disitir Triyono Lukmantoro, Pengajar di FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, dalam konteks penelusuran sejarah dengan judul “Pencarian Kebenaran Sejarah Tak Kenal Usai”(Harian Seputar Indonesia, 29 September 2007) dituliskan sebagai pembanding bahkan sebagai “pekerjaan rumah buat masyarakat untuk melacak dan menginvestigasi keaslian dan kemurnian sejarah kabupaten Sikka”.

Terkait pemberian nama bandara Waioti yang masih menuai protes dan akan berlanjut terus menerus(?) kiranya pemikiran Bacon, awal abad enam belas boleh jadi permenungan bagi kita rakyat dan dewan serta kaum berkuasa. Sitiran Triyono atas pemikiran Bacon antara lain “Metode terbaik yang dapat ditempuh adalah menyingkirkan “berhala-berhala pemikiran” untuk pergantian nama bagi hal-hal umum masyarakat. Untuk itu ada empat pemikiran yang wajib untuk dilawan habis-habisan, kongkretnya adalah 1) pandangan dogmatis yang menonjolkan watak kesukuan, nasionalisme, atau totalitarianisme yang dibentuk oleh negara. 2) Sikap “katak dalam tempurung” yang sengaja membatasi keluasan cakrawala pemikiran.3) Jebakan untuk melakukan pengidolaan terhadap tokoh-tokoh yang memiliki popularitas tinggi.4) Afiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik dan keyakinan tertentu yang menutup kemunculan ruang-ruang perbedaan pendapat.

Konon ada dua tokoh daerah, masing-masing Teka Iku(1849-1904 di Onderafdeeling Maumere yang berkedudukzn di Maumere, dan 1904-1024 di penjara Sawalunto, serta 19204 hingga meningggal dan dikuburkan di pekuburan Sawalunto, adalah seorang Abdi Rakyat dan Pemimpin Sejati di tiga kerajaan Sikka, Nita, dan Kangae yang Memiliki Visi, Misi dan Berdaya Pikat bagi Tuhan dan Manusia (Menejemen Kepemimpinan, Paulus J.Gessing, 2008), yang berani dan penuh heroik berperang membela rakyat karena “Pajak Kelapa” yang sangat memberatkan, yang diterapkan raja kepada rakyat, atas perintah penjajah kolonial Belanda.

Tokoh yang lainnya adalah Raja Kelima Belas sejak masa penjajahan Portugis (1607-1857) atau Raja Ke Delapan, masa penjajahan Belanda (1857/59-1945), Don Thomas Ximenes da Silva (1920-1945). Beliau adalah penata awal Onderafdeeling Maumere yang dalam perjalanan pemerintahannya antara lain memiliki andi membangun pendidikan dengan “YAPENTHOM” nya yang sudah dan akan terus melahirkan generasi demi generasi menjadi tokoh-tokoh daerah yang ikut berperan membangun Republik ini baik ditingkat regional, nasional maupun dunia (Pelangi Sikka, hal 36, B.Michael Beding&S.Indah Lestari Beding, 2001).

Ke duanya merupakan usulan rakyat dan masyarakat sepuluh lima belas tahun silam bahkan sampai mencuatnya calon baru yang wacananya mulai bergulir beredar di internet dan media-media lainnya, pro-aktif dan konsisten mempertanyakan ulang dan terus-menerus akan usulannya baik ke bupati mau pun ke dewan. Mereka berdua pun mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan apreasiasi yang jujur tulus atas jasa-jasa mereka. Bahkan dari sumber yang dapat dan patut dipercaya, Don Thomas diusulkan oleh dua ratusan lebih warga rakyat akar rumput, sementara Teka Iku, melalui pengiriman surat tercatat tertanggal 17 Maret 2010, meminta bupati menindaklanjuti memproses agenda tertunda penggantian nama lapangan terbang Waioti menjadi Bandara Teka Iku, menggenapi kemasan usulan dalam satu paket dengan usulan menjadi “Pahlawan Nasional RI” sejak tahun 1997 (Kronologis Usha dan Upaya Mendapatkan Pengakuan dan Penghargaan Bagi Mo’an Teka Iku (alm) Sebagai Pahlawan Nasional RI Asal NTT, 22 Januari 2008). Usulan ini pun sepengetahuan ke dua almarhum semasa hidupnya. Bahkan Almarhum Bapak L.Say, pengalihbahasa buku “Pemberontakan Teka dari Buku Verzameld door een Missionaris SVD, Sikka, 60 Jaren, Missiewerk, en nog wat, Tweede deeltje, hal. 221-235) adalah “inisiator”-“mastermind” Teka Iku, “pahlawan nasional, bandara Teka Iku dan kabupaten Maumere”sesuai aslinya “ONDERAFDEELING MAUMERE”.

Selanjutnya dengan jujur tulus hendaknya diakui bahwa calon nama baru pengganti lapangan terbang Waioti, Almarhum Drs.Fransiskus Xaverius Seda (3 Oktober 1926-2009) yang muncul dalam tayangan televisi ibukota “Metro TV” 2 Januari 2010, adalah merupakan buah dan hasil jerih payah perjuangan ke dua tokoh masa silam ini.

Calon baru nama bandara Waioti, Drs Fransiskus Xaverius Seda, Almarhum, atau familiar dengan sapaan Frans Seda, yang masih beraroma harum mewangi kembang kamboja Bukit Indah “SAN DIEGO” Krawang – Jawa Barat, adalah usulan bupati kabupaten Sikka, 5 Januari 2010 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sikka (data dari Kementerian Perhubungan RI, 6 Agustus 2010) atau tiga hari setelah dikebumikan.

Almarhum adalah abdi negara terbaik, mengabdi pada negara sejak 1964 – 1988. Dalam berbagai buku tercatat, selepas pengabdiannya yang resmi pada negara, almarhum yang ahli ekonomi yang unik dan cerdas serta tulisan-tulisannya yang scientific, arts, dan morals enak dibaca dan dicerna tetap pro-aktif, konsisten dan terus-menerus berpartisipasi berjuang untuk bangsa dan negara serta agama. Dalam bergiat sebagai pengusaha, almarhum tetap berbisnis yang pro-rakyat melalui konsep “padat karya”.

Veteran yang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, dan bergabung dalam Laskar Sunda Kecil/TNI Batayon “Paraja” di Yogya bersama teman-teman dari NTT, satu di antaranya L.Say, adalah sosok yang kerja keras, cerdas, disiplin, dan jujur. Spiritualisme dan moralitas yang prima serta penuh intergritas itu, tidak saja terlihat pada jabatan lima kali menjadi menteri, tetapi juga pada berbagai peran penting lainnya dilingkungan pemerintahan sampai akhir hidupnya. Ucap SBY: Frans Seda tokoh tiga Zaman, tokoh kepercayaan lima presiden adalah tepat dan pas (da’a golo)( Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010). Pas pula dengan julukan “A MAN FOR ALL SEASONS” dan itu jauh lebih luhur dan mulia ketimbang sebuah nama lapangan terbang. Selamat jalan Mo’at!. Requiescas in pace!

Pada sisi lain, dalam mengantisipasi situasi dan kondisi di seputar lapangan terbang, menjelang isu diresmikannya bandara tersebut di atas, di Jakarta, 2 Agustus 2010, beberapa warga Keluarga Besar Maumere JABODETABEK- (PARS PRO TOTO) - mengikrarkan “FORUM PEDULI PELESTARIAN NAMA BANDARA WAIOTI&PELABUHAN SADANG BUI”

Forum dibentuk karena mempertimbangkan mencuatnya pergesekan-pergesekan di masyarakat antara pendukung dan penolak penggantian nama bandara. Dan itu terjadi di masyarakat akar rumput karena ulah orang-orang oportunis, yang karena satu dan lain hal sibuk memoprovokasi. Memprovokasi kelompok pendukung penggantian melalui pengidolaan atas figur atau tokoh melalui sejumlah iming-iming angin surga. Dengan demikian, rakyat akan rumput dengan kekurangpahamannya akan membabi buta mempertahankannya sebagaimana terlihat dalam tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Dan itu boleh jadi tersulut oleh adanya konspirasi antara elit politik dan para penguasa demi kepentingan sesaat bagi kelompok atau golongannya.

Maka oleh karena terdapat tiga tokoh yang masing-masing memiliki kebesaran dan jasa sesuai jamannya, forum bersepakat bahwa jalan atau cara aman, damai, netral serta menghindari perseteruan antar pendukung masing-masing dan menghindari mewariskan kembali dendam politik sepanjang masa yang tidak menguntungkan generasi demi generasi, adalah “KEMBALI KE NAMA ASLI “WAIOTI” & “SADANG BUI”

Pernyataan Sikap Forum tersebut di atas telah disampaikan kepada Kementerian Perhubungan baik melalui surat tertanggal 2 Agustus 2010, maupun lewat tatapmuka penyampaian aspirasi dan aksi tanggal 6 Agustus 2010. Surat pernyataan sikap disampaikan juga kepada instansi terkait dari tingkat pusat hingga daerah serta masyarakat umum dan dunia melalui jaringan alat komunikasi.

Seruan kembali ke nama asli, yang menurut orang waras adalah sesuatu yang tidak waras, sebagai dalil “apalah arti sebuah nama” dalam konteks “history” – bukan “his-story” adalah beralasan dengan pertimbangan selain peringatan Francis Bacon tersebut di atas, juga fakta atas munculnya berbagai upaya dan usaha pencarian kebenaran sejarah tak kenal usai, dan juga adanya upaya “Membongkar Manipulasi Sejarah” , tulisan Julius Puor, terbitan Gramedia, 2009.

Tulisan ini tidak bermaksud mengurangi hasil kinerja almarhum atau jerih payah pemda dan dewan di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagai pemerhati sejarah, pemberian dan penghargaan atas rakyat yang pengabdiannya sangat bermanfaat akan hajat hidup orang banyak hendaknya melibatkan berbagai macam elemen masyarakat (UU No.20/2009, Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan) Sehingga keputusan yang diberikan atau diambil diperkecil dan syukur-syukur diapresiasi secara obyektif tanpa menuai protes memprotes rakyat kecil yang biasanya menjadi korban perubahan sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, tegasnya korban komoditas politik oleh elit politik yang moralitas dan spiritualismenya diserakahi yang ragawi saja sebagaimana dilansir berbagai media paska perayaan tujuhbelas agustusan tahun ini.


stefanus a.a.-danita