Rabu, 07 April 2010

PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU SERI 2

Inti tulisan dalam peristiwa sejarah seri 1 : Ada apa dengan Teka Iku (1849-1904) terdapat dua pandangan berbeda tentang makna pahlawan nasional. Pandangan pahlawan nasional menurut Negara berbeda dengan pandangan yang terdapat dalam Masyarakat.
Harian Kompas, Selasa, 10 November 2009 di bawah judul Menimbang Makna Kepahlawanan, menuliskan makna Pahlawan nasional menurut Negara, dalam UU No.20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia yang berjuang melawan penjajahan di wilayah NKRI yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara , atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa.
Rumusan ini disertakan juga Bagan Tata Cara Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional yang dimulai dari usulan masyarakat ke Bupati/Wali Kota, lalu ke Instansi Sosial Provinsi, Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) ke Gubernur yang lalu merekomendasikan ke Dit.Kepahlawanan, Keperintisan&Kesetiakawanan Sosial cq Badan Pembina Pahlawan Pusat(BPPP) yang meneruskan ke Menteri Sosial, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial untuk disampaikan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa&Tanda Kehormatan RI untuk diteruskan ke Presiden RI untuk memutuskan/menetapkan Upacara Penganugerahan Gelar.
Inisiator (mastermind team) Pilar Kajian Sejarah&Nilai Tradisional Krove, Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta sejak tahun 1995 telah mengikuti secara kata demi kata prosedur dan mekanisme seperti tertulis di atas, namun ditolak oleh Dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI atas dasar hasil penelitian, pembahasan, pengkajian secara cermat dan mendalam serta dengan tidak mengurangi rasa hormat atas perjuangan almarhum maka Badan Pembina Pahlawan Pusat (BPPP) menyimpulkan bahwa usulan calon Pahlawan atas nama Mo’an Teka Iku tidak memenuhi syarat/ditolak dengan alasan a) Perjuangan almarhum Mo’an Teka Iku terlalu singkat dan tidak berskala nasional. Dan b) Dalam perang melawan Belanda berakhir dengan tipu daya di mana Mo’an Teka Iku menyerahkan diri pada Belanda (Surat nomor 322/PS/XI/2006, 20 N0vember 2006. Tahun 2009, Teka Iku ikut dalam penilaian nasional namun gagal lagi dengan alasan; Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, pengkajian secara cermat dan maka BPPP menyimpulkan bahwa almarhum Mo’an Teka Iku dianggap tidak memenuhi persyaratan karena perjuangannya berlangsung singkat dan terbatas dan memaksakan kehendak kepada rakyat dengan cara kekerasan.(Surat Dirjen Pemberdayaan Sosial Nomor:1019/PS/XXI/2009, tanggal 31 Desember 2009 tentang “Hasil sidang atas usulan calon Pahlawan Nasional a.n.Mo’an Teka Iku, melalui Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang, 14 Januari 2010).
Sementara dua (2) Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang juga selaku Ketua Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) masing-masing merekomendasikan (1) dalam surat Nomor:BINSOS 481.2/21/2005, 3 Oktober 2005 angka 1.Berdasarkan hasil kajian atas Riwayat Hidup dan Riwayat Perjuangan Mo’an Teka Iku (Almarhum), menerangkan bahwa yang bersangkutan semasa hidupnya telah memberikan kontribusi besar dalam proses pergerakan kemerdekaan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur sehingga patut diberikan penghargaan atas jawa-jasanya (Piet Alexander Tallo,SH). Sedangkan rekomendasi (2) tertanggal 30 Juni 2009, dalam surat Nomor:KESRA, 464/01/2009 angka 1 Bahwa Mo’an Teka Iku adalah salah satu Pahlawan Lokal dimana beliau telah memberikan kontribusi besar dalam proses Pergerakan Kemerdekaan di Indonesia khususnya di kabupaten Sikka (Drs. Frans Lebu Raya).
Adalah serupa dan sejalan hasil jajak pendapat 850 responden di 10 kota besar tentang pahlawan, dengan hasil investigasi, verifikasi, dan validasi inisiator (mastermind team) dengan masyarakat umum dan masyarakat pendidikan serta pemerintah kabupaten Sikka didalam penelitian, pembahasan, pengkajian secara cermat dan mendalam menyangkut item-item seperti tersebut di dalam table survey Harian Kompas.
Pertanyaan di Tabel 1 Survey Harian Kompas: Setuju atau tidakkah Anda jika seseorang yang ditetapkan sebagai pahlawan (%) yakni harus orang yang telah meninggal dunia, harus orang-orang yang ikut berperang melawan musuh, harus orang yang berlatar belakang militer, tokoh masyarakat, dan masyarakat biasa merupakan topik-topik seru dan menuai pro dan kontra, tetapi pada akhirnya dari kelima pejuang yang diusulkan yaitu : (1) Mo’an Teka Iku (Generaal), (2) Mo’an Pitang Sadok (Adjudant), (3) Mo’an Iku Mitan, (4) Mo’an Hure Teka, dan (5) Moan Lela) hanya Mo,an Teka Iku (Generaal Teka – begitu disapa Posthouder Onderafdeeling Maumere yang berkedudukan di Maumere) yang direkomendasikan untuk diusahakan dan diupayakan menjadi Pahlawan Nasional RI asal Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Tinur. Hingga sekarang sudah 15 tahun masyarakat Kabupaten Sikka dan Provinsi NTT serta Inisiator (mastermind team) Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta berusaha dan berupaya masuk tingkat nasional namun masih harus menempuh jalan panjang seperti tulis Tabloid Umum Mingguan Flores Pos, Edisi Jakarta, Minggu 9 September – 16 September 2007. Kendati begitu Inisiator (mastermind team) Pilar Kajian Sejarah & Nilai Tradisional Krove Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta tetap pro-aktif dan konsisten mendalami visi, misi dan nilai perjuangan almarhum lewat ungkapan dalam bahawa Krowe nya yang sarat mengandung makna scientifics, arts, dan morals yang nampaknya selalu dan tetap up to date hingga sekarang bahkan mendatang akan maju terus. Menurut Inisiator (mastermind team), sudah waktunya di alam reformasi ini, cara pandang BPPP yang bersifat nasional sentris sebaiknya di debottlenecking karena hasil kajian lebih bersifat subyektif dan politis.Makanya setiap pengumuman pahlawan nasional selalu menuai kontroversi. Tabel III Hasil Survey Kompas menyebutkan beberapa nama seperti Bung Tomo, Siti Hartinah Soeharto, Soeharto, Tan Malaka dan Alimin di hapus dari mata pelajaran di sekolah, dan Anak Agung Gde Agung.Ini cuma sekedar yang muncul 2009. Sebelumnya ada Kontroversi Pahlawan Nasional oleh Asvi Warman Adam (Kompas, Senin, 12 November 2007), juga Imam Bonjol, dikenang sekaligus digugat oleh Suryadi (Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azie” en Oceanie, Universitas Leiden, Belanda). Sebaliknya seperti rekomendasi para gubernur, itu jauh lebih obyektif, lokal, jujur, tulus dan terbuka seperti yang dialami dalam pemrosesan Teka Iku cs. meski kandas di meja runding BPPP. Mengapa kita meniadakan peristiwa-peristiwa lokal yang bernilai tinggi dan dipelajari banyak sejarahwan asing ketimbang sejarahwan bangsa dewe? Buku Memori Perjuangan dan Pengabdian Moan Teka sebagai literature pendukung kepahlawanan Teka Iku lapuk dan berdebu serta tidak dibaca tuntas dalam proses penilaian tetapi tersimpan apik dan dipromosikan di Perustakaan Nasional Canbera- Australia. Untungnya seperti apa yang ditulis Rocky Gerung, Pendiri Setara Institute, Pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam salah satu artikelnya di Halaman Opini harian Kompas: “Pahlawan Itu Tewas Dua Kali”. Sekali di medan perang dan sekalinya lagi di “perang tarif” politik di dalam menentukan siapa, kapan, dan untuk apa sebuah lencana kepahlawanan dianugerahkan. Selanjutnya Rocky tulis pula : “ Sejarah memerlukan peristiwa (Nuhu Gete Teka Iku, 18 Mei 1904). Peristiwa memerlukan tokoh (Mo’an Teka Iku cs). Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa (ditangkap, dipasung, diadili, membayar denda, dihukum buang dan masuk bui selama 20 tahun di Sawalunto: 1904-1924) tanpa pemberitahuan ke keluarga hingga saat ini, orang sekampungnya dilarang membangun kembali rumah-rumah (Hubin-Wolomude) yang dibakarhanguskan prajurit kompeni Belanda 5 Juni 1904 dalam serangan ke dua menangkap Teka Iku cs, setelah gagal serangan pertama 3 Juni 1904). Dengan cara itu kata Rocky sejarah diulang-ulang, dan tokoh diingat-ingat. Mengulang dan mengingat harus menimbulkan “sensasi politik” agar dapat menghasilkan “ketagihan historis”. Sensasi itu namanya “perjuangan”, dan pelembagaannya bernama “kepahlawanan”. Dan itu memang tepat tagline ( meminjam terminology Presiden KIB II) Teka Iku: “ A’U TEKA IKU,Rebu Ba’it DAMAR JAWA DA’AN DADIN, PATAR HADING ‘LIWAN PITU ELE BERE0, PARE BURA WIWAGA, NARAN A’UN ELE POTAT”. Sampe ketemu di seri berikutnya…bandara teka iku dan maumere sebagai kabupaten dan ibukota kabupaten sesuai dari sononya “onderafdeeling maumere yang meliputi ratu nian tawa tana sikka,nita dan kangae. Lihat Peta Kota Krove (baca krowe) masa kekuasaan Portugis dan Peta Krove (Maumere pada masa perang besar Teka Iku).











Sumber : Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid I Halaman 376 Penerbit KWI 1974.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar